12 April 2014: Manusia, Gejolak, dan Ketidakpastian

  • 0

 Terlalu lama aku di tengah hingar bingar 
Rasa senang melambung lambung hingga hilang kepribadian
Limbung kesana kemari karna tak ada cahya pedoman
Jadi pajangan, sekilas muncul hanya untuk bahan kegembiraan orang 

Ketika senyum bibirku meredup, mana mereka
Seakan jauh tak tergapai pandangan
Apakah mau mereka menengok sebentar
Apakah bersedia dia meluangkan waktu
Ah, apakah sudi kamu sedikit bertanya sedang gundah apa diriku

Aku seorang dari segelintir manusia yang hilang
Terjerembab terperosok dan keliru pijakan
Rugi besar jika ku mengaduh
Terlalu naif jika ku mengeluh
Rintih sedihku tak rela kuperdengarkan pada telinga sekitar

Pun ketika malam terpanjatkan doa yang mengiba-iba
Dengan sedikit harapan ingin Engkau dengarkan

Kini ku merangkak pelan, ke jalur perbenaran
Toleh kanan kiri tak ada pegangan 
Punya bekal hanya sekedar kepercayaan
Penuh Gejolak dan Ketidakpastian

Membuatku menghadapi bejibun ambiguitas
Namun dalam kondisi seperti inilah sesungguhnya manusia berpikir 
Dan benar-benar berpikir mengenai kehidupan

 

12 April 2014: Tiga Sekawan Sanja ke Tengger bag.2




Wuh, kenapa tidak ?! Dua bocah metropolitan itu langsung setuju bahkan wajah mereka menampakkan antusias dengan kedua mata berbinar-binar. Apalagi si Imut (Iqbal Mut) belum pernah menjejakkan kakinya di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. 

Esok lusanya saya dan Imut pergi membeli tiket kereta api di Stasiun Pasar Turi, untuk keberangkatan menuju Probolinggo, destinasi pengisi waktu senggang bagi kami bertiga. 

Kami pun berangkat dari Stasiun Gubeng Lama menuju Stasiun Probolinggo dengan menumpang kereta api Logawa meski sebelum berangkat ada beberapa insiden kecil yang mampu terlewati. 

Gerbong kami berada di tengah rangkaian kereta, gerbong empat tepatnya. Ketika pertama kali masuk gerbong nampak di dekat hingga kejauhan mata seluruh baris kursi penumpang telah penuh dan sesak, pertanda ini memang benar-benar hari libur. Kami pun mencari nomor kursi kami. Kursi panjang di sisi kiri gerbong, muat untuk diduduki tiga orang. 

Di depan kami sudah duduk Ibu berkerudung ungu berusia paruh baya bersama kedua putrinya. Ia memandangi kami bertiga sedari awal kami masuk gerbong tadi.

Kami duduk di kursi tepat di depan ibu berkerudung itu. Tak selang beberapa lama kereta mulai bergerak. Karena *maaf* pantat kami bertiga lebar meski kami laki-laki, kursi yang sebegitu panjangnya terasa sempit dan sesak. Saya pun pindah dan mencari kursi lain yang masih lengang, meski sulit. Imut pun mengikuti saya, tersisa Sinyo saja di kursi original kita. 

Detik pun terus bergulir mengikuti putaran roda besi kereta api, hamparan sawah-sawah hijau yang ditanduri pelbagai macam tanaman pangan khas pribumi bergiliran nampak dari jendela kereta yang tak begitu lebar kira-kira hanya berukuran 1x0.5 m. Semakin dekat kami dengan tujuan, semakin jauh pula kami berpisah dengan tempat keberangkatan kami. Jauh-dan-semakin jauh dari hiruk pikuk nya Kota yang tak pernah tidur. 

Sekitar dua jam telah berlalu, rasa kantukku hilang dan langsung memperhatikan bangunan di luar jendela kereta. Telah dapat kami lihat gapura berwarna merah bata bertuliskan Selamat Datang di Kota Probolinggo. Selang sepuluh menit kami pun tiba di stasiun kebanggan saya, kebanggan masyarakat Kota Probolinggo, Stasiun probolinggo. 

Suara peluit dari Juru Langsir pun dibunyikan, jam tangan menunjukkan 19.10. Kami bersiap-siap dengan barang bawaan kami masing-masing. Setelah kereta benar-benar berhenti, kami pun berbondong-bondong bergabung dengan antrean para penumpang lain yang akan turun di stasiun yang sama. 

Riuh rendah suara tawaran tukang becak, angkot, hingga ojek sudah mulai terdengar. Mereka saling berebut, menggoda penumpang satu dan yang lain, menggoda kami pula, penumpang-penumpang yang habis kelelahan dalam perjalanan untuk menumpang kendaraan mereka. 

Saya mengajak mereka untuk naik angkot saja, selain cepat murah pula. Mereka berdua mengangguk dan setuju. Beruntung sopir angkot yang sedang memarkir mobil kuningnya di seberang stasiun. Kami putuskan untuk beristirahat dahulu di kediaman saya. Esoknya dini hari baru kita melanjutkan perjalanan. Perjalanan memonopoli suasana hati, perjalanan bersama tiga sekawan. 

-Bersambung lagi-



17 Februari 2014: Kelud, Kasih tak Sampai

  • 1





Terdengar suara menggelegar, saat itu guntur sang Hyang merambat – rambat mencakar ketenangan. Guruh - gemuruh meluluh lantakkan kedamaian peradaban Jawa. Dari pelupuk mata nampak abu erupsi menari – nari mencari mangsanya. Ah itu Gunung Kelud, dalam wiracarita Babad Tanah Jawi sesungguhnya Kelud ialah simbol sebuah kisah kasih tak sampai dari seorang mahasakti namun berwajah buruk rupa. Sastra warisan turun temurun dari Mbah Nenek Moyang.
-
Kisah dimulai dari sebuah Kerajaan di Kediri. Dahulu kala Kerajaan Kediri dipimpin oleh seseorang Raja bernama Prabu Jenggala Manik. Sang Prabu hendak mencarikan menantu untuk putri kesayangannya yang aduhai cantik jelita lemah gemulai, itulah Dewi Kalisuci. Tak ayal banyak raja dan pangeran dan berbagai orang dari kalangan priyayi  pun datang melamar. Jenggala Manik bingung menentukan pilihan siapakah sosok yang pantas menemani putri cantiknya hingga akhir hayatnya kelak.
-
Sayembara pun diadakan bagi semua calon menantu yang datang melamar. Barangsiapa yang berhasil merentangkan busur sakti dari Kiai Garudayeksa dan mengangkat Gong Kyai Sekardelima, dialah lelaki terhormat yang berhak mempersunting Dewi Kalisuci yang molek itu. Namun lelaki satupun tak ada yang sanggup melakukan keduanya, tak ada yang berhasil dalam sayembara Prabu Jenggala Manik.
-
Sebelum sayembara ditutup, tiba-tiba datanglah Lembu Suro, yaitu seorang manusia tapi berwajah lembu. Aih ! Ternyata dia dengan mudahnya merentangkan busur dan mengangkat gong Kyai-kyai mahasakti tersebut.
-
Namun sang Dewi jijik jika punya pendamping hidup berwajah hewan sawah seperti itu. Dia pun mengajukan satu syarat tambahan bagi Lembu Suro untuk bisa jadi suaminya. “Buatlah sumur di Puncak Kelud dalam waktu semalam!” kata sang Dewi pada Lembu Suro.
-
Lembu Suro tak gentar menerima syarat terakhir tersebut. Nuraninya sebagai lelaki memicu semangatnya dan dia pun langsung menggali dengan dua tanduknya tanpa pikir panjang. Sang Putri mulai khawatir Lembu Suro akan berhasil. Akhirnya, Dewi Kalisuci dan ayahnya Prabu Jenggala Manik memerintahkan prajurit kerajaan untuk menimbun lelaki berwajah hewan tersebut ketika sedang asyik menggali gunung. Prajurit-prajurit pun menjatuhkan batu-batuan dan pasir dari atas sumur.
-
Huh, nasib! Lelaki malang itu pun dalam sekejap terkubur dalam timbunan bebatuan. Senang bukan kepalang yang dirasakan sang Putri dan Ayahandanya. Ketika masih dalam balutan kegembiraan itu, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari dalam Gunung Kelud. Ternyata tak lain tak bukan bunyi itu adalah suara Lembu Suro. Suara erangan yang mengutuk Dewi Kalisuci beserta kerajaannya, “Terkutuklah kau Dewi Suci dan Kerajaan Kediri, hancurlah kalian oleh lahar dan abu Kelud bersama kemunafikan!” .
-
Masyarakat sekitar lereng masih meyakini keabsahan dari mitos tersebut dan berusaha menjaga agar Lembu Suro tidak marah. Itulah legenda asal muasal dari ritual Larung Sesaji yang dilaksanankan di lereng Gunung Kelud setiap tanggal 23 Suro.  Salah satu kisah turun temurun dari kayanya peradaban Jawa. Kisah kasih dari zaman pewayangan yang mungkin menjelma hingga saat ini, zaman modern. Sekelumit kisah kasih tak sampai yang mengharu biru. Aih, bak pungguk merindukan bulan.

14 Februari 2014: Kelud Oh Kelud...

  • 0


Pagi ketika kelopak mata baru terbuka, samar-samar terlihat debu putih menutupi genteng asrama. Rupa-rupanya dampak letusan Gunung Kelud memutihkan beberapa wilayah di Jawa tak terkecuali wilayah kami, Asrama Mahasiswa Kedokteran Luntas 10. Hujan abu juga menyelimuti wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, hingga Jawa Barat. Di Tasikmalaya dan Bandung, abu tipis terlihat menutupi berbagai kendaraan, juga dedaunan rindang nampak layu terkulai dijajah sang Abu.

Semua wilayah yang kena abu vulkanik terlihat putih layaknya salju. Pohon-pohon terlihat layu tertimpa tumpukan abu di daunnya. Tebalnya abu menutupi jalanan yang berada di kota-kota itu. Sehingga ketika motor lewat pun tak ayal abu-abu silika berhamburan terbang kemana-mana. Mengingatkan diri akan erupsi Merapi sekitar tiga tahun yang lalu ketika diri masih di Pirikan, Magelang.

Ketika tv saya nyalakan, telah tertayangkan hiruk pikuk berita mengenai Kelud, barangkali ini adalah sekelumit dari ingatan saya:

Jelas di tayangan berita, ternyata dampak ini tidak terlalu mempengaruhi wilayah yang terkena hujan abu, ialah itu Kediri dan Blitar. Malah beberapa aktivitas warga yang pergi bekerja dan belajar masih berjalan, walaupun ada sebagian yang dilliburkan.

Meskipun untuk menghindari abu masuk ke mulut dan pernafasan, beberapa warga terlihat mengenakan masker penutup. Sebagian lain terlihat mengenakan jas hujan demi menghindari abu yang mengotori pakaian.
Bukan hanya abunya saja yang mencapai beberapa kota. Ketika meletus, suara gelegarnya sampai ke kota Solo. Di Boyolali, letusan ini juga terdengar seperti suara yang bergemuruh. Seorang penduduk lokal kota Solo menuturkan,”Suaranya seperti guntur, bergemuruh tapi tidak terlalu keras". Beberapa Bandara pun menutup akses penerbangannya akibat landasan udara serta pesawat-pesawatnya tertutup oleh abu.

Gunung yang berada di perbatasan Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang Jawa Timur itu meletus Kamis dini hari tadi, tepat tanggal 13 Februari 2014, kisaran pukul 22.48-22.50 WIB. Letusannya setinggi tujuhbelas kilometer dan melontarkan jutaan meter kubik abu vulkanik dan pasir. Menurut analisa BMKG, abu dan pasir pada lapisan 1.500 m terbawa kea rah Timur laut, pada lapisan 5.000 m kea rah Barat Laut dan 9.000 m ke arah barat.

Terakhir erupsi Gunung Kelud terjadi tahun 2007 lalu. Saat itu, letusan dahsyat tidak terjadi karena terhambatnya aliran magma. Hanya terjadi peningkatan suhu di kawah. Dari status ‘awas’, peringatannya diturunkan menjadi normal karena aktivitas yang sudah melemah.

Itulah barang sedikit informasi yang saya tangkap sebagai penghias catatan kali ini.

Semoga warga sekitar di Gunung Kelud, maupun warga lain di Pulau Jawa yang terkena imbas abu vulkanik dari erupsi Gunung Kelud tetap selalu dalam keselamatan dan limpahan rahmatNya.

Di Jumat Mubarok ini, kiranya kita patut merenungkan juga mengingatkan diri pula, apa-apa yang telah kita kerjakan dan akan laksanakan, bahkan Tuhan pun tak akan berhenti untuk mengingatkan umatNya. Semoga kita selalu diberikan ketabahan. Kelud Oh Kelud..

4 Februari 2014: Tiga Sekawan Sanja ke Tengger bag.1

  • 0




Entah darimana sebaiknya aku memulai catatanku kali ini. 

Akhiran ujian perbaikan dari mata kuliah yang mengulang telah datang. Hasil-hasil jerih payah kami mahasiswa kedokteran airlangga dalam membaca, menulis, menghafal, berlatih, mempraktekkan telah terpampang di mading-mading yang nampak jarang digunakan untuk menempel karya, hanya pengumuman. Tercetak dalam huruf-huruf kapital dengan nama empunya nilai di sampingnya. Secara tidak syah, hari libur telah mengaung-ngaung memanggil untuk dijamah. Meski libur telah datang menyudahi pelayangan ilmu di kampus kedokteran Gubeng Surabaya, hal itu tak serta merta membawa angin segar bagi diriku seorang, entah mahasiswa yang lain. 

Setelah beberapa pelik terlewati, kini aku sangat haus akan alam, ingin rasanya berdiri di tengah hutan, ingin rasanya lebih mengenal kehidupan luar, kehidupan yang tak aku dapat dari prosesi belajar mengajar di keseharian, kehidupan dengan banyak kemungkinan. Hari libur sebelum semester lima kemarin ialah hari terakhir  aku bercengkerama dengan hutan. Bumi Semeru dengan puncaknya Mahameru kudatangi kala itu dengan adik laki-lakiku. Memang beberapa tujuan sudah terpampang dalam telenchepalon ku khususnya untuk hari libur kali ini. Terasa awang-awang pada siapa aku mencurahkan ajakanku. 

Ketika itu, secara kebetulan datang berkunjung kawan lama saat belajar di Kampus Biru, ialah dia yang sering kali datang ke asramaku, Iqbal MU. Lelaki dengan badan yang tetap tegap bekas didikan para pamong pengajar dahulu dengan usia tak jauh beda denganku meski lebih tua dia beberapa bulan. Kulitnya putih khas peranakan orang Banjar. Tinggi nya pun tak beda jauh satu meter tujuh puluh hampir sesama tinggiku. Kuajak dia untuk masuk kamarku. Kamar satu-satunya di asrama yang berada di lantai dua. Saat itu teman kamarku sedang mendapat gilirannya untuk jaga poli di RSUD.

Sedikit kikuk ia melepas sepatu sebelum masuk kamarku. Seakan sudah sepuluh tahun lamanya tidak berkunjung kemari. Iqbal berjalan di belakangku masuk kamar dan langsung duduk di atas kasurku. Tempat terbaik untukku untuk bernyaman-nyaman di Surabaya meski hanya terbuat dari selembar sponge yang mulai kempis itu di jajahi olehnya. Aku sendiri menyandarkan badanku di kursi belajarku.

Tak lama kemudian, datang seorang kawan lagi, kawan semasa SMA, sekaligus kawan ku kuliah, Yudha KL. Perawakannya tinggi, sedikit lebih tinggi dari kami berdua. Bocah Jakarta yang merantau di ranah Surabaya, kupersilahkan dia masuk pula kedalam.

Sambil kubaca Bumi Manusianya mas Pram, bergegap gemuruh lah kami dalam bilik kamar asramaku, bercengkerama dan bernostalgia, mengingat dan diingatkan tentang memori semasa kami hidup dalam satu atap yang sama, Pirikan, Magelang. 

ketika kisah-kisah memoar pun habis untuk dikenang, aku pun berceletuk, untuk mengajak mereka berdua, datang dan sanja ke gunung terdekat dari kampungku, gunung terindah di Jawa pula, mampir dan menengok kawah Bromo Tengger.

Dan mereka pun menjawab....

----Bersambung-----

27 Januari 2014: Dunia Titik Balik

  • 0



Dua puluh tujuh hari telah berlalu semenjak terompet manusia-manusia bebas ditiupkan dari ujung labialis. Setiap batas, setiap pijakan, setiap waktu konon memiliki spesifikasi khas intrik cerita masing-masing pemeran panggung sandiwara. Kehebohan menghiasi pergantian masa. Ucapan kasih dan doa juga tak kalah mengiringi fenomena itu. Telah bertambah satu, angka terakhir di masehi kalender yang terpampang di pojok komputerku. Itulah salah satu cerita tahun baru kira-kira barang empat minggu yang lalu.
-
Yang lama sudah tertinggal di belakang, dan kini saya menghadapi layar panggung yang baru. Layar panggung penuh teka-teki, penuh lika-liku. Bukan untuk dihindari atau disingkirkan. Namun untuk diatasi dan diselesaikan. Maka dari itu, terciptalah resolusi-resolusi yang harus saya siapkan sebagai fondasi perubahan.
-
Sejenak saya menyandarkan fikiran seraya beristirahat setelah selesai menghadapi beberapa ujian akhir di semester kelima dalam menyandang predikat sebagai mahasiswa. Dalam istirahat ini beberapa kali saya sempat merenung, dan beberapa kali pula renungan saya terenggut untuk berfokus dalam dunia ke”Mahasiswa”an. Dunia yang tidak hanya melulu tentang berangkat dan pulang untuk menuntut ilmu di sebuah kelas. Jauh lebih dari itu, ini semua mengenai sebuah “dunia titik balik”.
-
Dunia beserta isinya yang dihuni oleh berbagai macam manusia yang terpelajar yang nantinya akan dihormati karna ilmunya. Dunia titik balik teruntuk semua mahasiswa. Bagaikan Chandradimuka bagi kisah hidup Wisanggeni dalam wiracarita pujangga Jawa. Mengubah dia-dia yang tadinya kosong ilmu menjadi para pendekar modern. Punggawa-punggawa negara yang memiliki hutang jiwa pada kemajuan bangsa ini, In-do-ne-sia.
-
Sejujurnya di semua dunia tak ada muncul pihak yang baik jika tidak ada pihak yang jahat, tak ada muncul si Gundala jika tanpa ada si Ghazul, tak terkecuali dunia titik balik ini. Dunia modern ialah dunia yang sarat ilmu, orang yang lebih pandai dalam berilmu ialah orang yang lebih dihormati. Insinyur menghormati Doktor, juga Doktor pastilah dia menghormati Profesor.
-
Tidak sedikit mereka-mereka para mahasiswa yang menuang prestasi. Tidak hanya di tanah ibu, bahkan Eropa Amerika telah mereka jelajahi. Dari sedemikian itu banyak dari mereka kembali ke pertiwi mengabdikan bakti, membagikan ilmu yang belum berakar di sini. Itulah sekiranya Gundala-Gundala yang ada di bumi persada.
-
Namun tak menampik, tak sedikit pula mahasiswa-mahasiswa berjalan melenceng bahkan salah masuk koridor. Terbalut dalam keseakanan. Mengenai tahta jabatan dalam dunia ke”Mahasiswaan”. Cerita turun temurun menjadi panutan, yang seharusnya ilmulah yang jadi pegangan. Mereka yang sadar ataupun tak sadar menyerahkan diri untuk bermetamorfosa menjadi Ghazul di Dunia Titik Balik. Dunia yang akan menyerahkan pemuda-pemuda godokan Chandradimukanya bagi In-do-ne-sia.
-
Aih, mahasiswa dan pemuda! Sadar dan bangkitlah!